Indonesia menempati urutan ketiga jumlah pasien kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brasil. Deteksi dini dan pengobatan dapat mencegah penularan meluas.
Oleh: dr. Rona Setiawati, Dokter Umum di UPTD Puskesmas Penfui Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
Hari kusta sedunia diperingati setiap hari minggu terakhir pada bulan Januari dan tahun ini jatuh pada tanggal 28 Januari 2024. Tema hari kusta sedunia tahun ini adalah “beat leprosy” atau kalahkan kusta. Tema ini bertujuan untuk melakukan eradikasi stigma yang berhubungan dengan kusta dan meningkatkan martabat pasien kusta. Tema ini mengingatkan kita terhadap pentingnya penanganan kusta dari aspek sosial dan psikologi, di samping aspek medis, dalam upaya mengeliminasi penyakit ini. Dengan tema ini diharapkan kusta tidak lagi menjadi stigma, melainkan kesempatan bagi setiap orang untuk menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap sesama.
Kusta, yang juga dikenal dengan nama morbus hansen, merupakan penyakit infeksi bakteri yang bersifat kronis dan disebabkan oleh mycobacterium leprae. Kusta menyerang kulit, saraf perifer, mata, dan mukosa dari saluran pernapasan atas, otot, tulang, dan testis. Kusta juga dapat menyerang beragam kelompok umur, dari anak hingga orang lanjut usia. Kusta ditularkan melalui droplet yang keluar dari hidung dan mulut penderita lewat kontak kulit yang lama dan dekat dengan pasien yang belum diobati. Meskipun demikian, kusta dapat diobati. Diagnosis dini dan pengobatan segera dapat mencegah kecacatan.
Indonesia menempati urutan ketiga jumlah pasien kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brasil. Menurut laporan Kementerian Kesehatan tahun 2022, prevalensi kasus kusta di Indonesia sebesar 0,55 per 10 ribu. Prevalensi ini naik 0,05 dibanding tahun 2021, yang sebesar 0,5 per 10 ribu penduduk. Pada semester pertama tahun 2023, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan mencatat penderita penyakit kusta di Indonesia berkisar 13 ribu orang.
Gejala penyakit kusta tidak muncul tiba-tiba. Setelah terpapar bakteri kusta, gejalanya dapat timbul dalam setahun atau bahkan 20 tahun kemudian. Manifestasi dari penyakit ini umumnya terlihat melalui lesi kulit dan keterlibatan saraf perifer. Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan salah satu dari tanda kardinal, seperti kehilangan sensasi atau rasa rangsang raba pada lesi putih/ hipopigmentasi atau lesi kemerahan/eritema; penebalan atau pembesaran saraf perifer yang disertai penurunan sensasi dan/atau kelemahan dari otot yang berhubungan dengan saraf tersebut; serta ada bakteri basil tahan asam pada pemeriksaan kerokan kulit. Lesi kulit biasanya berupa perubahan warna pada kulit, seperti kulit berwarna putih, merah, atau seperti tembaga, dan dalam berbagai bentuk, entah datar atau meninggi.
Kusta menyerang beragam orang dengan beragam cara, tergantung dari imunitas seseorang. Orang dengan imunitas tinggi akan memiliki kuman basil yang sedikit dan dikategorikan sebagai kusta PB (pausi basiler). Adapun orang dengan banyak kuman basil di dalam tubuh dikategorikan sebagai pasien kusta MB (multibasiler). Pasien kusta tipe PB adalah pasien kusta dengan 1-5 buah lesi dan biasanya tidak ditemukan kuman basil. Kusta tipe MB punya lebih dari lima lesi atau adanya gangguan fungsi saraf akibat peradangan/ neuritis (keluhan neuritis saja atau neuritis disertai lesi kulit berapa pun jumlah lesi kulit), atau adanya basil pada pemeriksaan kerokan kulit, berapa pun jumlah lesi kulitnya.
Diagnosis dini dan terapi hingga tuntas dengan multidrug therapy (MDT) merupakan langkah penting dalam mengurangi tingkat keparahan kusta. Pada tahun 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pedoman tata laksana dan pencegahan kusta dengan rekomendasi tiga jenis regimen, yaitu rifampisin, dapsone, dan clofazimine, untuk semua pasien kusta dengan lama pengobatan selama enam bulan untuk kusta tipe PB dan 12 bulan untuk kusta tipe MB.
Menurut WHO Indonesia, upaya mengeliminasi kusta sesuai tujuan global tahun 2030 menghadapi berbagai hambatan, seperti keterlambatan deteksi, stigma, rendahnya kesadaran, dan tantangan dalam melakukan identifikasi kontak erat. Salah satu program yang dicanangkan demi terwujudnya eliminasi kusta adalah dengan pencegahan. Deteksi dini dan pengobatan dengan MDT telah terbukti cukup mampu menghentikan penularan kusta. Namun, untuk meningkatkan pencegahan penularan, Kementerian Kesehatan, WHO, dan Netherlands Leprosy Relief (NLR) melaksanakan program pemberian obat/ kemoprofilaksis kusta dengan obat rifampisin dosis tunggal sebagai leprosy post exposure prophylaxis (LPEP) sesuai pedoman Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Pemberian obat ini melalui penelusuran kontak serumah, lingkungan, dan sosial setiap pasien kusta. Ada bukti ilmiah bahwa pemberian rifampisin dosis tunggal pada orang yang kontak erat dengan pasien kusta. Langkah ini efektif untuk mengurangi jumlah kasus baru dan mengurangi penularan kusta sekaligus merupakan kesempatan dalam menemukan dan mengobati pasien kusta yang belum terjaring atau dilaporkan.(*)
Foto: Shutterstock/Kemenkes
Sumber: sehatnegeriku.kemkes.go.id
Disclaimer: Rubrik “Opini” adalah komitmen Kata JakTim memuat opini atas beragam hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.